Namun begitu, kewujudannya tidak dipeduli dan tidak diindahkan orang. Kelapa tua tidak pernah menjadi topik perbincangan. Tidak pernah dikaitkan dengan isu apa-apa atau masalah. Kalaulah kelapa tua ini mempunyai emosi, tidak ramai orang yang akan dapat merasakan dan menyelami perasaannya. Itulah kelapa tua.
Kelapa tua pula tidak pernah susah hati kalau orang tidak mempedulikannya. Dia hanya tergantung di atas pohon dan terbuai-buai bila ditiup angin.
Tapi, lazimnya elok-elok kelapa tua itu tergantung di atas pohonnya sambil menikmati keindahan alam buana ini dari kedudukannya yang tinggi itu, datanglah orang menjoloknya dengan galah yang panjang. Tidak sabar menunggu kelapa tua itu jatuh sendiri. Bukannya selesai kena jolok-jolok macam tu.
Bila tangkainya sudah lemah setelah dijolok beberapa kali, maka gugurlah kelapa tua itu berputar-putar ke bumi. Gugur itu pula bukannya rendah. Bukan sekira lima atau sepuluh kaki tapi sampai empat puluh hingga lima puluh kaki. Bunyinya berdentum sampai ke tanah. Waduh! Kalau sembarang buah, bisa pecah. Kalau kepala orang, bisa berceceran otak.
Masalah kelapa tua ini tidak terhenti di situ saja. Ini baru muqaddimahnya. Dia dikutip dan kulit sabutnya dikoyak-koyak dan dibuang sedikit demi sedikit dengan parang cangkuk. Proses ini bukan sekadar sekali tetak. Berpuluh-puluh kali parang cangkuk itu menusuk ke dalam kulit sabutnya. Siksanya tak bisa diceritakan. Mula-mula sakit tusukan. Lepas itu sakit dikoyak dan disiat-siat. Ini berterusan sampai tempurung saja yang tinggal.
Bila dah sampai ke tempurung, maka tak apalah. Bagus juga rupanya. Keras dan bulat. Tetapi manusia bukan tahu hendak menilai seni yang seperti ini. Tempurung bulat yang cantik itu ditetak pula dengan parang dengan sebegitu kuat hingga terbelah dua di tengah-tengahnya. Maka tersembur dan mengalirlah air jernih dari dalam perutnya dan terdedahlah isinya yang putih bersih.
Bagi kebanyakan kehidupan yang lain, kalau sudah sampai ke tahap ini, maka selesailah riwayat hidupnya. Tetapi bagi kelapa tua, ini baru permulaan. Banyak lagi siksaan yang menanti.
Tak cukup dengan menyemburkan air dari dalam perutnya dan mendedahkan isinya, isinya yang putih bersih itu dipisahkan dari tempurung, diparut dan dikukur pula hingga menjadi lumat. Tempurungnya dibuang. Kadang-kadang di bakar. Bentuk asal kelapa tua sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanyalah isinya yang sudah lumat dikukur dan diparut.
Untuk menambah siksanya lagi, dituang pula air ke dalam isi parut itu, diremas-remas dan diperah-perah. Alangkah tersiksanya. Kalau hendak dikirakan, ini sudah terkeluar dari batas-batas perikemanusiaan. Kemudian ia ditapis menjadi santan. Kelapa tua yang dulunya keras dan bulat kini sudah menjadi cecair yang putih.
Setelah itu, minyak dipanaskan dalam belanga. Bawang merah, rempah dan rencah-rencah yang lain ditumis. Bila sudah cukup kuning dituanglah santan tadi ke dalam belanga. Maka berpanasanlah santan itu hingga terkeluar minyaknya. Apabila sudah masak dan bau harumnya merebak ke seluruh sudut rumah, maka orang pun bertanya: “Gulai apa tu? Sedap sangat baunya?” Orang di dapur hanya menjawab, “Gulai ikan bawal.” Gulai dapat nama. Ikan bawal dapat nama. Orang kata, “Oh! Sedap gulai ni.” “Oh! Sedap ikan bawal ni.”
Jasa kelapa tua tenggelam begitu sahaja. Perjalanan dan pengalamannya yang begitu panjang dan menyiksakan dari sebiji kelapa tua di atas pokok yang tinggi hingga ke belanga yang panas berbahang, tidak ada siapa yang ambil kira atau ambil peduli.
Alangkah indahnya kalau kita dapat berjasa seperti kelapa tua ini. Jasa-jasa bukan untuk dipuji dan dipuja. Bukan untuk dikenang atau untuk mendapat nama, tapi untuk ta’abbud kepada Tuhan. Biarlah jasa-jasa kita tidak nampak di mata orang, tapi ada dalam perhatian Tuhan!
nice blog...if free, check out my blog and tell everyone..thx
ReplyDeletemy blog
www.ourselvesthinkaboutthat.blogspot.com
bagus
ReplyDelete